Pemerintah akhirnya mengungkapkan penyebab kecelakaan pesawat Sukhoi
Superjet 100. Menteri Perhubungan EE Mangindaah menjelaskan secara
langsung penyebab jatuhnya burung besi asal Rusia itu.
Di hadapan
anggota Komisi V DPR itu, EE Mangindaan memaparkan kronologi kecelakaan
yang terjadi pada Rabu 9 Mei 2012 tersebut. Menurut dia, sesuai izin
yang diberikan, pada hari itu pesawat Sukhoi itu akan melakukan dua demo
terbang, yaitu pada pukul 11.15 WIB dan 14.00 WIB.
"Pada
penerbangan pertama, pesawat kembali dengan selamat ke Bandara Halim
Perdanakusuma," kata EE Mangindaan dalam rapat yang digelar di Gedung
DPR, Senayan, Jakarta, Senin 28 Mei 2012.
Mangindaan melanjutkan,
pada penerbangan kedua, burung besi buatan Rusia itu akan melalui rute
dari Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu dan kembali ke Halim. Pesawat
itu terbang pada ketinggian 10.000 kaki. Namun, sang pilot kemudian
meminta izin untuk turun pada ketinggian 6.000 kaki. "Kemudian
diizinkan," kata EE Mangindaan.
Pesawat itu lalu hilang kontak,
dan kemudian ditemukan jatuh di Gunung Salak setelah menabrak tebing.
Seluruh penumpangnya yang berjumlah 45 orang tewas.
Berikut kronologi detik-detik jatuhnya pesawat Sukhoi:
1. Pukul 14.10 WIB pesawat meminta ijin untuk
start engine.
2. Pukul 14.21 WIB pesawat
take off melalui
runway 06 menuju ketinggian 10.000 kaki.
3. Pukul 14.24 WIB pesawat melakukan kontak dengan ATC Bandar Udara Sukarno-Hatta pada radial 200 Halim Perdanakusuma
Very High Frequency Omnidirectional Range (HLM VOR).
4. Pukul 14.26 WIB pesawat meminta izin untuk turun ke ketinggian 6000 kaki.
5. Pukul 14.28 WIB pesawat meminta melakukan memutar 360 derajat orbit right di atas training area Atang Sanjaya.
6. Pukul 14.52 WIB ATC BSH memanggil pesawat karena tidak terlihat pada monitor radar.
7. Pukul 14.55 WIB STC BSH melaporkan kejadian hilangnya target pada ATS coordinator.
8. Pukul 15.35 WIB ditetapkan
uncertainty phase.9. Pukul 16.05 WIB ATC BSH menghubungi SAR.
10. Pukul 16.55 WIB ditetapkan kondisi
alerting phase11. Pukul 18.22 WIB ditetapkan kondisi
destress phase karena bahan bakar dinyatakan habis.
Dalam
rapat itu, pihak Air Traffic System (ATC) Angkasa Pura II pun
mengungkapkan alasan memberi izin bagi pilot Alexandr Yablontsev turun
dari ketinggian 10.000 ribu ke 6.000 kaki sesaat sebelum kecelakaan.
Direktur
Utama Angkasa Pura II, Tri S Sukono menjelaskan petugas memberi izin
karena area pada saat pesawat itu turun merupakan area yang bersih, tak
ada lalu lintas pesawat maupun gunung.
Tri kemudian menceritakan, pada saat jatuh, pesawat nahas itu
take off dari Halim Perdanakusuma dengan menggunakan
runaway 24 menuju area sesuai dengan permintaan pilot yaitu dengan ketinggian 10.000 kaki.
Kemudian, saat akan kembali ke Halim Perdanakusuma dengan
runaway
06 dengan ketinggian 10.000 kaki saat mendekati Bogor, pilot meminta
turun menjadi 6.000 kaki dan di atas Atang Sanjaya. Kemudian ATC
menyetujui permintaan itu.
"Karena area itu area
training yang biasa digunakan latihan. Ada 360 penerbangan
training di wilayah itu. Area itu yang memang di-
declare area
training dan dimungkinkan terbang 6.000 kaki bahkan tiga ribu lakukan manuver," kata Tri.
"Setelah pesawat Sukhoi tak terlihat di radar saat turun, 6 ribu
feet clear untuk
training. Jadi ATC, menurut kami, sudah lakukan tugas sebagaimana adanya," kata dia.
Dari
segi cuaca, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
menjelaskan, saat peristiwa terjadi, cuaca di sekitar Gunung Salak dalam
keadaan berawan. "Tidak ada cuaca signifikan yang dapat memengaruhi
penerbangan," kata Kepala BMKG Sri Woro Buadiati Harijono.
Berdasarkan
laporan dari Stasiun klimatologi Darmaga Bogor yang berjarak 18
kilometer dari lokasi jatuhnya pesawat, pada saat itu, cuaca berawan
Cumulonimbus.
Cumulonimbus merupakan awan konvektif yang
ketinggian dasar awan sekitar 600 meter dari permukaan tanah dan puncak
awan dapat lebih dari 10 ribu meter. Awan ini biasanya menimbulkan hujan
lebat dan angin kencang.
Sementara berdasarkan laporan dari
Stasiun Klimatologi Atang Sanjaya, yang berjarak 19 kilometer dari
lokasi kejadian, cuaca pada saat itu berawan Strato Cumulus.
Spekulasi RusiaPenyebab
kecelakaan Sukhoi hingga saat ini masih misteri. Muncul sejumlah
spekulasi mengenai jatuhnya pesawat teranyar Sukhoi itu. Termasuk pihak
Rusia.
Kalangan di Rusia menduga ada sabotase sehingga terjadi
kecelakaan yang menewaskan 45 orang. Badan intelijen militer Rusia (GRU)
dikabarkan sedang menyelidiki kemungkinan militer Amerika Serikat
berada di balik kecelakaan pesawat Sukhoi tersebut. Mengutip sumber
anonim dari badan intelijen militer Rusia, mereka telah lama melacak
kerja Angkatan Udara AS di Bandara Jakarta.
"Kami tahu mereka
memiliki peralatan khusus yang dapat memotong komunikasi, mengganggu
sinyal dari darat atau mengganggu parameter kapal," kata seorang
jenderal GRU tanpa mau disebutkan namanya kepada tabloid
Komsomolskaya Pravda, Kamis 24 Mei 2012.
Spekulasi
lainnya, kecelakaan itu dianggap sebagai sabotase industri. "Di sisi
lain, kita tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa ini adalah sabotase
yang disengaja untuk menurunkan industri pesawat kami di pasaran," kata
sumber lain.
Ini bukan kali pertama Rusia curigai AS mensabotase
pesawat buatan mereka. Pada Oktober lalu, seorang mantan pejabat juga
menyalahkan radar Amerika di Alaska atas hilangnya pesawat penyelidikan
antariksa Fobos Grunt.
Meski demikian, sejumlah ahli penerbangan
Rusia menolak teori sabotase. Apapun teorinya, harus dibuktikan secara
ilmiah berdasarkan fakta. "Semua teori yang dikemukakan saat ini cacat,
kurang bukti, dan ada terlalu banyak rumor," kata Roman Gusarov,
pengamat penerbangan Rusia sekaligus editor Avia.ru, seperti dimuat
situs
Christian Science Monitor.Gusarov mengakui, cara
pabrik Sukhoi mengatasi informasi terkait bencana di Indonesia sangat
buruk. "Bahkan sejak awal, mereka mengembangkan pesawat, seolah-olah itu
adalah jet tempur rahasia ketimbang pesawat sipil," kata Gusarov.
Menurut dia, mencari kambing hitam seakan ada kekuatan eksternal yang
memicu tragedi, adalah tak bijak.
Sementara, pakar penerbangan
Rusia lain, Oleg Pantaleyev mengatakan, belum ada bukti kuat menuduh AS
melakukan sabotase untuk merusak pasar SSJ-100.
Apalagi, AS tak
memproduksi pesawat sejenis. Bahkan, sejumlah perusahaan pesawat asing,
termasuk Boeing ikut membantu pengembangan SSJ-100.
"Investigasi
kecelakaan sulit dilakukan karena bagian dari kotak hitam belum
ditemukan. Medan yang sulit membuat pencarian sangat berat," kata dia.
"Dibutuhkan waktu untuk membuktikan kasus yang penuh kompleksitas ini,
jangan berharap sekonyong-konyong ada kesimpulan."
Belum ada tanggapan dari pihak AS soal tudingan itu. Namun, ini bukan kali pertamanya Rusia menuduh AS melakukan sabotase.
Namun,
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) memilih untuk tidak mau
menanggapi tudingan Rusia itu. KNKT masih berkonsentrasi mengungkap isi
rekaman dalam
Cockpit Voice Recorder (CVR) yang merupakan bagian dari kotak hitam. Meski bagian lainnya yakni
Flight Data Recorder (FDR) belum juga ditemukan.
Kepala
Sub Komite Penyelidikan Kecelakaan Transportasi Udara KNKT, Masruri
menolak berkomentar terkait tudingan intelijen Rusia yang menyatakan
sabotase intelijen Amerika Serikat sebagai penyebab kecelakaan itu.
"Kalau
itu saya tidak bisa menjelaskan. Selain penyelidikan belum selesai,
memang saya tidak punya kapasitas menjawabnya," ujar Masruri dalam
perbincangan dengan
VIVAnews.
"Kami tahu mereka memiliki
peralatan khusus yang dapat memotong komunikasi, mengganggu sinyal dari
darat atau mengganggu parameter kapal," kata seorang jenderal GRU tanpa
mau disebutkan namanya. Bagi KNKT, spekulasi-spekulasi itu lebih baik
tidak ditanggapi. "Kami tidak membahas soal itu," kata Masruri lagi.
Meski
demikian, hingga misi pencarian berakhir, tim tak kunjung menemukan
FDR. Setidaknya begitu penjelasan Tim SAR. Padahal tim sudah bekerja
sangat keras. Radius satu kilometer dari dinding maut Gunung Salak itu
sudah disisir habis. Beberapa hari belakangan, tim pencarian memang
fokus mencari FDR itu. "Jadi operasi pencarian FDR ini dinyatakan
ditutup," kata Kepala Basarnas, Marsekal Madya Daryatmo, di Pasir Pogor,
Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Senin 21 Mei 2012.
Operasi
berhenti tanpa menemukan FDR kemudian menimbulkan sak wasangka. Ada yang
menduga bahwa alat itu sudah ditangan tim Rusia. Alat FDR itu merupakan
bagian dari
black box, yang diharapkan bisa mengungkap sebab
musabab kecelakaan maut ini. Spekulasi berkembang bahwa Rusia, yang
sedang membangun industri penerbangan sipil, sangat berkepentingan
dengan alat itu.
Tapi dugaan itu sudah dibantah keras Basarnas.
Tim Rusia memang terjun juga ke Gunung Salak. Tapi, "Mereka juga tidak
menemukan FDR itu," kata Direktur Operasional Basarnas, Sunarbowo kepada
VIVAnews, Senin 21 Mei 2012.
Tim Rusia tidak mungkin
menyembunyikan alat itu. Sebab, kata Sunarbowo, tim yang datang dengan
pesawat khusus itu bekerja di bawah pengawasan tim khusus Indonesia.
"Kalau mau bergerak mereka minta bantuan kita," tutur Sunarbowo.
Basarnas meminta publik agar tidak menaruh curiga dengan tim Rusia. "Itu
dugaan yang berlebihan. Karena setiap apa yang mereka kerjakan, selalu
kami kawal."
Menunggu SantunanSetelah
melakukan pencarian dan identifikasi hingga kurang lebih 2 minggu,
sebanyak 45 korban kecelakaan Sukhoi akhirnya teridentifikasi. Jumlah
korban tersebut sesuai dengan pengumpulan data
ante mortem (ciri-ciri korban).
"Kami
menerima 50 laporan waktu itu, namun ada yang rangkap dua. Jadi ada
nomor-nomor tertentu itu kita skip karena ada lima yang dilaporkan dua
kali kemarin, tapi tetap jumlahnya 45," ujar Direktur Eksekutif DVI
Indonesia Komisaris Besar Anton Castelani di RS Polri Kramatjati,
Jakarta.
Tim DVI berjumlah 150 personel yang dibagi menjadi beberapa tim
ante mortem dan
post mortem. Tim DVI merampungkan tugas lebih awal dari jadwal. Tim bertugas selama 24 jam nonstop dibagi menjadi tiga shift.
"Tim
DVI merampungkan tugas lebih awal dari jadwal yang telah ditentukan
dengan hasil akrurasi mencapai 100 persen," tuturnya.
Duta
Besar Rusia untuk Indonesia, Alexander Ivanov, mengatakan seluruh
korban kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 akan menerima asuransi
sesuai peraturan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.
Pihaknya
akan memberi santunan sebesar Rp1,25 miliar kepada keluarga korban
sebagaimana tertuang dalam peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun
2011 tentang ganti rugi korban kecelakaan angkutan udara.
Namun,
meski sudah teridentifikasi, saat ini pihak keluarga masih menunggu
janji dari Sukhoi memberikan santunan. Perusahaan Sukhoi pun belum
memutuskan untuk memberi santunan sebesar Rp1,25 miliar kepada keluarga
korban, selain itu besarnya santunan masih dalam tahap pengkajian.
Demikian
disampaikan oleh Sunaryo dari PT Trimarga Rekatama--agen penyalur
Sukhoi di Indonesia. "Belum diputuskan," kata Sunaryo saat berbincang
dengan
VIVAnews.
Menurut Sunaryo, mungkin pihak Sukhoi
telah berbicara dengan Menteri Perhubungan terkait santunan itu. Dalam
pembicaraan itu, Sukhoi bisa saja bersedia memberi santunan seperti
aturan yang berlaku di Indonesia. "Dan Menhub memang mengatakan
demikian, tapi belum ada hitam di atas putih," ujar ia.
"Semuanya
masih digodog oleh Sukhoi. Saya belum berani berbicara kalau Sukhoi
belum menyatakan iya, karena sampai ditelepon ini belum ada hitam di
atas putih. Tapi semua diusahakan." Sementara, tutur Sunaryo, yang telah
dia umumkan adalah santunan sebesar US$50.000 untuk keluarga korban.
Sunaryo
mengatakan, masalah santunan itu hingga kini masih dalam proses
pembahasan. "Secepatnya, mudah-mudahan segera selesai. Sehingga saya
tidak dikejar-kejar wartawan dan keluarga korban. Saya harus mematuhi
pihak Sukhoi," katanya